Eliza (14) – Blind Date

Julia Crowne
Julia Crowne

I. Siapa?

Entah sejak kapan aku berada di ruangan yang asing bagiku ini. Nyala sebuah lampu kecil di tengah langit langit tak cukup untuk menerangi tempat ini, semuanya remang remang dan tak begitu jelas. Hawa dingin yang kurasakan membuatku kadang menggigil, padahal saat ini aku berpakaian lengkap. Aku mengenakan salah satu stel pakaian santai yang cukup sering kupakai kalau aku berpergian ke mall.
Namun yang membuatku merasa takut, sekarang ini aku duduk di sebuah kursi, tak bisa bergerak bebas. Kedua pergelangan tanganku yang menyatu di belakang sandaran kursi ini terikat erat. Sedangkan kedua pergelangan kakiku terikat erat pada ujung kiri dan ujung kanan kaki kursi ini. Perutku ini juga terikat pada sandaran kursi, hingga aku tak bisa ke mana mana lagi.
Oh, apa yang terjadi padaku? Apakah aku diculik?
Selagi aku berusaha mengingat ingat mengapa aku sampai berada di tempat ini, tiba tiba pintu ruangan ini terbuka, dan aku melihat ada seseorang yang masuk dan mendekatiku.
“Siapa?” tanyaku dengan sedikit panik.
Tak ada jawaban. Dan yang makin membuatku merasa ngeri, pakaian orang itu serba gelap. Bahkan ketika ia sudah cukup dekat, aku baru melihat kalau orang itu ternyata memakai topeng yang menutupi bagian lingkar kedua matanya, hingga rasanya aku tak mungkin bisa mengenali wajahnya.
“Kamu siapa? Ka… kamu mau apa…?” desisku ketakutan tanpa bisa berbuat apapun. Baca lebih lanjut

Eliza (13) – Akibat Kenakalanku

I. Memulai Pagi Yang Cerah

Sudah beberapa menit aku terbangun dari tidurku. Walaupun aku sudah merasa cukup enakan, aku masih ingin bermalas malasan, dan membiarkan tubuhku yang telanjang bulat dan tersembunyi dalam bedcover ini tetap terbaring, menikmati empuknya ranjangku. Sesekali aku menciumi rambutku yang terhampar di atas bantalku ini, menikmati halusnya rambutku dan juga harumnya bau rambutku ini.

Dan aku sudah kembali tersenyum senyum sendiri karena aku teringat kejadian di hari kemarin bersama Andy, mulai dari sikap canggungnya di sekolah saat menemaniku sampai kembali ke kelasku, dan yang paling membuatku bahagia adalah SMS Andy malam harinya, yang mengingatkanku agar segera beristirahat dan tidur karena ia tahu aku kecapekan.

Hanya saja, Andy tahunya aku kecapekan karena belajar sampai malam, bukan karena ngeseks berkali kali sejak kemarin lusa. Aku memandang jam kamarku, ternyata sudah jam 5:10 pagi. Maka aku menarik nafas panjang, bersiap menjalani hari ini yang entah akan memberikan warna apa lagi pada kehidupanku. Baca lebih lanjut

Eliza (12) – Kumpulan Hari Yang Penuh Warna

Kleio Valentien
Kleio Valentien

I. Pesan Misterius

Ulangan mata pelajaran Bahasa Inggris itu sudah selesai, dan aku sangat yakin bisa mendapat nilai sempurna. Kini adalah jam istirahat pertama, dan aku benar benar merasa lelah. Padahal sebentar lagi adalah jam olahraga. Mimpi buruk yang kualami tadi malam sempat terlintas dalam ingatanku.

Di kantin sekolah, Jenny dan Sherly seperti biasa menemaniku. Tapi sekarang ini aku lebih banyak diam dan mendengarkan dua sahabatku ini berceloteh. Bahkan tanpa sadar aku sudah melipat tanganku di atas meja, lalu aku menyandarkan kepalaku di atas tanganku.

“Eh Eliza, pagi pagi kok ngantuk sih? Bentar lagi jam olahraga lho. Kamu kurang tidur ya?”, tanya Jenny.

“Iya nih Jen… ngantuk… semalam aku kurang tidur, belajar untuk ulangan tadi”, jawabku lemah.

Kalau sekarang ini kami bertiga sedang berada di rumahku, aku mungkin saja sudah menceritakan tentang pemerkosaan yang menimpaku di tempat tambal ban kemarin, dan juga pesta seks semalam dengan Cie Stefanny. Tapi ini kan di kantin, nggak lucu kalau ada yang mendengar pembicaraan kami.

“Masa sih El? Kamu kemarin kan les sama Cie Stefanny? Aku aja dua hari yang lalu udah tenang untuk urusan ulangan ini abis les sama Cie Stefanny. Masa kamu perlu belajar sampai malam? Lagian kamu itu bahasa Inggrisnya kan ciamik”, celoteh Jenny lagi.

“Siapa Cie Stefanny itu Jen?”, tanya Sherly penasaran. Baca lebih lanjut

Eliza (11) – Semalam Bersama Cie Stefanny

Natalia Starr
Natalia Starr

I. Les Yang Menyenangkan

Jam 15:15. Aku berpikir sejenak, berarti tadi itu aku dibantai sampai hampir 2 jam di gubuk tukang tambal ban itu. Aku sudah berada di depan pintu rumahku sekarang. Setelah memasukkan mobil ke dalam garasi rumah, aku mengambil nafas panjang untuk mengumpulkan kekuatan. Kemudian aku turun dari mobilku, dan aku sudah membayangkan akan segera tidur pulas karena capai yang amat sangat ini.

Masih terasa sekali, sisa rasa sakit bercampur ngilu pada selangkanganku ketika aku melangkahkan kakiku. Kedua kakiku ini juga masih lemas dan sedikit gemetar. Tapi aku harus segera mandi, membersihkan badanku sebersih bersihnya, lalu tidur mengistirahatkan tubuhku yang sudah hancur hancuran diperkosa oleh 7 orang tadi.

Suasana rumah sepi sekali, dan ketika aku terus melangkah sampai ke depan pintu kamarku, aku tertegun melihat sepasang sepatu, sepatunya Cie Stefanny.

Aduh, aku baru ingat kalau harusnya aku les sejak jam satu siang tadi. Aku segera masuk ke dalam kamarku. Tak ada siapa siapa di dalam sini, tapi pintu kamar mandiku yang tertutup dengan suara gemericik air dari dalam sana melenyapkan kebingunganku. Aku menaruh tas sekolahku di atas meja, dan duduk di kursi menunggu Cie Stefanny keluar dari kamar mandi.
Baca lebih lanjut

Eliza (10) – Biaya Tambal Ban Yang Mahal

Bunyi bel pulang sekolah itu menyadarkanku dari lamunanku. Aku menoleh ke arah Jenny yang ternyata masih sedang memandangiku.

“Jen? Kamu kenapa?”, tanyaku heran.

Jenny tersenyum dan menjawab dengan berbisik, “Kamu cantik Eliza… memangnya nggak boleh kalau aku liatin kamu?”

“Jen, kamu ini nggak ada kerjaan ya? Aku mau pulang cepat, ada les”, aku tersenyum geli sambil meleletkan lidahku pada Jenny.

Kami saling berpamitan ketika aku sudah ada di depan mobilku. Aku duduk sebentar di dalam mobil untuk sekedar melepas lelah, apalagi liang vaginaku masih terasa ngilu sekali, seolah olah ada penis yang masih tertinggal di dalam situ.

Setelah aku merasa agak enakan, aku mulai menjalankan mobilku. Kebetulan malah, lalu lintas di jalan depan sekolahku sudah sepi, jadi aku bisa melajukan mobilku dengan bebas. Aku harus cepat sampai ke rumah untuk membersihkan liang vaginaku yang masih belepotan sperma ini. Terasa begitu lembab dan becek sekali.

“Aduh… kenapa nih”, aku mengeluh ketika di sebuah jalan yang cukup sepi, setir mobilku terasa berat sekali, dan sesaat kemudian aku segera meminggirkan mobilku.

Ketika aku turun, tentu saja setelah mengamankan dompetku di dalam laci mobil yang sudah aku kunci, aku melihat ban mobilku yang kanan depan sudah kempis sama sekali. Baca lebih lanjut

Eliza (9) – Petaka Akibat Mengintip

Daisy Marie
Daisy Marie

Hari ini hari Kamis, pelajaran berlangsung normal setelah pelajaran sempat libur tiga hari lamanya karena ada penyelenggaraan bazar di sekolahku. Pagi ini semua berlangsung seperti biasa, hanya aku dan Jenny saling tersenyum penuh arti kalau tanpa sengaja kami beradu pandang ataupun bersenggolan tangan. Hal ini sering terjadi karena kami memang duduk bersebelahan. Bahkan kadang diam diam aku dan Jenny mencuri curi saling menggenggam tangan di bawah meja. Ya, kejadian di depan rumah Jenny pada akhir liburan kemarin memang mengubah total hubunganku dengan Jenny.

Istirahat pertama tadi kulewatkan bersama Jenny di kantin. Sherly juga ikut nimbrung, dan kami bertiga sudah saling tahu semuanya, hingga tak ada rasa canggung sedikitpun di antara kami bertiga. Kini aku dan Jenny sedan ada di dalam kelas, dan setengah jam lagi adalah waktunya istirahat ke dua. kebetulan aku merasa ingin ke toilet. “Jen, aku ke toilet dulu nih”, bisikku. “Aku ikut sayang”, kata Jenny, membuatku tersenyum geli. “Gila kamu yah? Ya.. terserah kamu sih”, kataku. Lalu aku berdiri dan melangkah ke depan diikuti oleh Jenny.

Hampir bersamaan kami berkata, “Pak, kami ijin ke belakang dulu”. Setelah mendapat ijin dari pak Gatot, aku dan Jenny segera keluar dari kelas, menuju ke toilet, toilet putri tentunya. Tepat sebelum masuk ke toilet, aku menghentikan langkah. “Jen, kamu dengar nggak? Itu…”, aku berbisik agak ragu, sambil menunjuk ke gudang di sebelah toilet ini. Jenny memandangku heran, lalu ia melangkah ke arah pintu gudang itu. “Jennn”, aku berbisik kaget sambil menarik Jenny, karena pintu itu memang agak terbuka, kuatirnya Jenny akan terlihat oleh orang yang ada di dalamnya. Baca lebih lanjut

Eliza (8) – Suka Duka Ketika Liburan

Di hari Jumat ini, ketika sudah waktunya pulang sekolah, aku sudah akan berdiri dari kursi ketika Jenny memintaku menunggu sebentar.“El, jangan pulang dulu dong, bentar bentar!Kamu lagi mikirin apa sih El?Gini aku jelaskan lagi ya, besok Senin, Selasa dan Rabu kita kan libur..yaaa aku tahu memang ada bazar, tapi kita bisa berlibur dulu kan, jadi baru datang hari Selasa dan Rabunya gitu”, Jenny berkata panjang lebar.Aku terbawa oleh sikapnya yang selalu riang itu, dan mendengarkannya sambil tersenyum.

Sheena Shaw
Sheena Shaw

“Gini nih Eliza, aku pinginnya, kita berlibur ke Tretes, tiga hari dua malam saja. Jadi besok sore kita berangkat, terus senin sore baru balik lagi ke Surabaya. Gimana El?”, tanya Jenny. “Memangnya kita mau pergi sendiri berdua Jen?”, aku bertanya heran. “Ya nggak lah El, kamu sih dari tadi nggak dengerin kita ngomong, ngelamun aja.. Lha ini Siany, Bella dan Rini ngumpul sama kita di sini buat apa?”, gerutu Jenny, dan ketiga temanku yang lain itu memandangku dengan cemberut.

Aku baru sadar kalau ada mereka bertiga ini yang sejak tadi ngobrol dengan kami berdua. “Aduh.. sori ya.. jadi, kita berlima ya Jen?”, tanyaku lagi. Jenny mencubit kedua pipiku dengan gemas, “Nih anak memang minta dijitaaak… Sherly juga ikut Eeel!”. Aku mengeluh manja, “Aduh Jen.. iya ampun…”. Kami semua tertawa dalam suasana yang riang. “Hei.. sori telat nih, aku tadi ada perlu bentar di kelas”, Sherly mendadak muncul mendekati kami yang masih duduk duduk di dalam kelas dan menyapa kami semua.

“Sudah lengkap ya semua… Jadi gimana nih? Kita tidur di mana nanti di Tretes? Sudah ada yang membooking vila? Atau kita tidur di hotel Surya?”, tanya Sherly setelah duduk bersama kami. Rini yang pada kelas 1 SMA sekelas denganku, langsung bertanya padaku, “El, langsung aja nggak pakai basa basi, kalau vila kamu dipakai nggak? Kalau nggak dipakai, bisa nggak kita menginap di vilamu?”. Aku agak terkejut mendengar kata kata Rini. “Vilaku…?”, aku mengguman dengan ragu. Baca lebih lanjut

Eliza (7) – Penderitaanku Di Hari Sabtu

Vicki Chase
Vicki Chase

Klakson mobilku kutekan kuat kuat ketika aku melihat di pinggir jalan ada anak SD yang sedang menangis, kelihatannya ditodong oleh seorang anak laki laki berseragam putih biru, anak SMP. Untungnya bunyi klaksonku cukup menarik perhatian orang orang di sekitar sini, hingga membuat anak SMP itu menghentikan aksinya dan segera kabur.

Anak SMP itu sempat memandangku dengan penuh ancaman sebelum menghilang di gang kecil itu, tapi aku tak memperdulikannya. Kulihat anak SD itu masih menangis ketakutan, maka aku keluar dari mobil dan mendekati anak itu, mencoba menenangkannya. “Titi, sekarang udah aman kok, nggak apa apa, jangan nangis yah”, kataku sambil berjongkok dan membelai rambutnya.

Anak kecil itu menghambur dan memelukku, kubiarkan ia menangis sampai akhirnya ia mulai tenang dalam pelukanku. “Titi, nama kamu siapa”, aku bertanya padanya. “Johan, cie”, katanya dengan suara sengau, wajar saja karena habis menangis. “Rumah kamu di mana? Cie cie antar ya?”, tanyaku. Ia menyebutkan alamat, yang aku kebetulan tahu itu ada di dekat sini. Kuantar dia pulang, dan kebetulan yang membuka pintu itu kelihatannya mamanya.

“Ai, tadi kebetulan aku lihat Johan lagi nangis. Takut kenapa kenapa, aku antar pulang”, kataku. “Aduh, maaf merepotkan ya nik, kamu baik sekali. Oh iya, Johan ini anaknya Ai. terima kasih ya.. mari masuk dulu, Ai buatkan minum dulu. Kamu belum makan kan nik? Ayo makan di sini”, kata Ai itu padaku. “Oh nggak usah Ai, terima kasih. Aku harus segera ke rumah teman, ada perlu Ai”, aku menolak halus. Baca lebih lanjut

Eliza (6) – Sisi Lain Cie Elvira, Instruktur Baletku

Catalina Cruz
Catalina Cruz

“Stanley… jangan jauh jauh dari cie cie”, aku setengah berteriak mengingatkan Stanley yang terus berlari ke arah lain dari tempat duduk kami di kereta api. Aku terpaksa mengejarnya, kuatir kalau ada apa apa dengan sepupu kecilku itu. Keluargaku dan keluarga Suk Sing sudah terlelap ketika tadi Stanley membangunkanku minta ditemani ke toilet.

Ketika selesai, aku masuk ke toilet sebentar untuk mencuci muka, dan waktu aku keluar, aku melihat Stanley berlari ke arah gerbong yang salah dan begitu cepat menghilang dari pandanganku, memaksaku untuk berlari lebih cepat. Seorang pedagang asongan nyaris kutabrak ketika aku berlari memasuki gerbong kelas ekonomi, tempat yang sangat sangat asing bagiku.

“Non.. hati hati, kalo gue jatuh gimana?”, pedagang asongan itu mengingatkanku. “Maaf pak, saya buru buru, mencari sepupu saya”, aku meminta maaf dengan sopan, lalu segera melanjutkan mencari Stanley. Beberapa gerbong kulalui, sampai akhirnya aku tertegun saat menemukan seorang wanita cantik yang ternyata adalah Cie Elvira!

Bukan karena menemukan Cie Elvira duduk di gerbong kelas ekonomi seperti ini yang membuatku tertegun, tapi pandangan Cie Elvira yang dingin menusuk terhadapku, murid kesayangannya di sekolah balet. Cie Elvira benar benar terlihat lain, seolah ini adalah sisi lain dari dirinya yang biasanya lembut dan harusnya menyayangiku seperti adiknya sendiri. Baca lebih lanjut

Eliza (5) – Bertambahnya Kenangan Di Villaku

Anissa Kate
Anissa Kate

Show balet di malam hari jam 20:00 selama setengah jam yang menampilkan aku sebagai penari utama pada tanggal 31 Desember 2004 di ballroom sebuah hotel, mendapat sambutan yang meriah. Guru baletku begitu bangga padaku, ia memelukku bahagia. Aku pun demikian, seolah sudah lupa pada gangbang demi gangbang yang membuatku orgasme berkali kali sejak terenggutnya keperawananku pada 18 Desember kemarin. Juga tanggal 24 dimana aku bahkan harus datang ke sekolah di malam hari, menyerahkan tubuhku untuk menjadi budak pemuas nafsu dari mereka yang membantai aku seminggu setelah ulang tahunku yang ke 17 itu, yang nanti akan kuceritakan juga.

Bahkan tadi pagi aku masih harus melayani sopirku dan kedua pembantuku di kamarku sendiri. Mereka mulai menggilirku sepuas puasnya sejak jam 4 pagi sampai ketika kokoku pulang dari rumah temannya untuk makan siang sekitar jam 12, seolah tak rela nanti aku akan menginap di vila keluarga di tretes selama beberapa hari bersama keluargaku sepulang show balet ini. Mereka menggilirku dengan liar sekali, orgasme demi orgasme harus kulalui berkali kali sehingga betisku terasa begitu pegal, dan masih sangat terasa saat latihan final sore tadi.

Untung saja aku diantar kokoku ke tempat latihan balet, yang lalu meninggakan aku yang masih sangat lemas untuk menjemput ortu yang akan sampai di bandara Juanda sebentar lagi. Aku tak yakin apa aku masih bisa menyetir dengan rasa pegal ini. Namun segala macam capai sudah tak kurasakan lagi, kini aku sedang tersenyum bahagia, karena show ini begitu suksesnya, sampai sampai semua penonton termasuk di antaranya papa, mama dan kokoku, melakukan standing ovation (tepuk tangan sambil berdiri) saat kami menutup acara dengan membungkuk menghormat pada para tamu dan meninggalkan panggung ini. Baca lebih lanjut